Yogyakarta, 4 Mei 2025 – Sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh Losta Institute, menganalisis secara kritis gaya komunikasi dan konsistensi kebijakan Presiden Prabowo Subianto selama 180 hari pertama masa pemerintahannya. Studi ini berjudul “Ketika Retorika Bertemu Realita: Analisis Gaya Kepemimpinan dan Konsistensi Kebijakan Presiden Prabowo Subianto di Awal Pemerintahan (2024–2025)”..
Menurut Wahyu Sumprabowo Hardi direktur strategi losta Institute, Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis gaya kepemimpinan dan komunikasi Presiden Prabowo Subianto pada masa awal pemerintahannya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif-analitis. Pendekatan ini digunakan untuk memahami makna, konteks, dan dinamika sosial-politik di balik pernyataan dan tindakan Presiden Prabowo Subianto pada masa awal pemerintahannyaBerdasarkan temuan yang di peroleh, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
- Gaya Komunikasi Prabowo Bersifat Lugas, Emosional, dan Nasionalistik
Presiden Prabowo tampil sebagai pemimpin yang tidak artifisial, berbicara langsung kepada publik dengan gaya yang blak-blakan, penuh diksi nasionalisme, dan emosi rakyat kecil. Dalam kerangka wacana, ia memosisikan diri sebagai patriot dan pembela rakyat biasa, serta menegaskan kemandirian bangsa sebagai ideologi utama pemerintahannya. - Konsistensi Retorika dan Kebijakan Terbukti di Beberapa Bidang, tetapi Tidak Menyeluruh
Program-program seperti makan siang gratis, hilirisasi SDA, dan swasembada pangan menunjukkan bahwa retorika kesejahteraan rakyat dan kemandirian nasional diikuti dengan kebijakan konkret. Namun, terdapat ketidaksesuaian pada isu demokrasi (minim oposisi), etika pemerintahan (kontroversi menteri), serta komitmen lingkungan dan HAM, yang masih lemah baik dalam retorika maupun kebijakan.
- Respons Publik Terbelah antara Apresiasi dan Kekhawatiran
Prabowo mendapat dukungan kuat dari publik akar rumput yang melihat ketegasan dan empatinya sebagai kekuatan. Namun, dari sisi masyarakat sipil dan kelompok akademik, muncul kritik terhadap sentralisasi kekuasaan, absennya agenda HAM-lingkungan, dan lemahnya kontrol atas para pembantunya. Ini menciptakan tensi politik jangka menengah yang berpotensi membesar jika tidak dikelola dengan transparansi dan akuntabilitas. Respons publik yang terbelah ini melahirkan beberapa implikasi politik:- Penguatan Citra sebagai Pemimpin Populis-Nasionalis
Prabowo berhasil memperkuat basis dukungan dari kalangan yang menginginkan pemimpin tegas dan tidak banyak basa-basi. Namun, gaya ini perlu dikawal dengan konsistensi kebijakan agar tidak kehilangan kredibilitas. - Ujian Legitimasi dari Kalangan Kritis
Kelompok masyarakat sipil, akademisi, dan media yang independen menjadi benteng utama kontrol demokrasi di tengah koalisi parlementer yang minim oposisi. Legitimasi politik Prabowo akan diuji ketika retorikanya tidak diikuti tindakan yang konsisten, terutama dalam isu HAM dan lingkungan. - Potensi Delegitimasi dari Kontroversi Internal
Jika kontroversi dari para menteri terus terjadi, atau jika Prabowo dianggap tidak mengoreksi pembantunya secara tegas, maka kredibilitas politiknya bisa terganggu. Ini bisa menurunkan kepercayaan publik jangka panjang. - Stabilitas Jangka Pendek vs Ketegangan Jangka Menengah
Pemerintahan Prabowo relatif stabil di awal karena basis dukungan politik dan sosial cukup kuat. Namun, tanpa ruang oposisi yang sehat dan sistem kontrol efektif, ketegangan politik bisa muncul saat masyarakat sipil merasa aspirasinya tidak didengar..
- Penguatan Citra sebagai Pemimpin Populis-Nasionalis
- Ketidak-artifisialan Prabowo adalah Kekuatan dan Tantangan
Keaslian gaya komunikasi Prabowo menjadi modal politik, namun juga mengandung risiko jika tidak disertai keselarasan sistematis antar-aktor pemerintahan. Ucapan spontan, keputusan cepat, dan struktur koalisi besar harus dikawal dengan kontrol birokratis dan etika publik yang ketat.
Presiden Prabowo Subianto menghadirkan gaya kepemimpinan yang unik dalam sejarah politik Indonesia: kuat secara simbolik, emosional dalam komunikasi, dan cepat dalam manuver politik. Namun seperti yang disampaikan dalam kutipan sebelumnya:
“Ketidak-artifisialan itu akan diuji saat retorika bertemu realita.”
Penelitian ini berharap dapat menjadi kontribusi awal dalam membangun kajian ilmiah yang lebih mendalam dan objektif terhadap praktik kekuasaan dan kepemimpinan politik di era demokrasi Indonesia kontemporer.
METODELOGI
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif-analitis. Pendekatan ini digunakan untuk memahami makna, konteks, dan dinamika sosial-politik di balik pernyataan dan tindakan Presiden Prabowo Subianto pada masa awal pemerintahannya.
Dengan pendekatan ini, peneliti berusaha menggali secara mendalam relasi antara retorika politik, gaya kepemimpinan, serta konsistensinya dengan kebijakan yang dijalankan. Tujuannya bukan sekadar mengukur, melainkan menafsirkan bagaimana kekuasaan dikonstruksikan dan dijalankan melalui bahasa, tindakan, dan kebijakan.
Menggunakan pendekatan analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis / CDA), evaluasi kebijakan public (Policy Evaluation), dan analisis kepemimpinan politik untuk mengkaji apakah retorika politik Presiden Prabowo yang dikenal lugas, emosional, dan nasionalistik benar-benar tercermin dalam kebijakan yang dijalankan oleh pemerintahannya.
Penelitian ini bersifat studi dokumen dan media, sehingga lokasi bersifat tidak terbatas secara geografis. Sumber data berasal dari dokumen resmi pemerintah, pemberitaan media massa nasional, serta publikasi ilmiah atau opini yang relevan. Waktu penelitian mencakup periode Oktober 2024 (pelantikan Prabowo) hingga Maret 2025, yakni masa awal pemerintahan yang menjadi fokus utama evaluasi.